Dahulu kala ada seorang raja di negeri antah berantah. Raja
ini terkenal bijaksana dan arif dalam memimpin. Raja memiliki putra bernama Pangeran
Ara. Suatu hari, Pangeran Ara terlihat murung tak mau keluar kamar dan makan
pun susah karena kehilangan pusaka. Diduga jika pusaka tersebut jatuh ke tangan orang jahat maka hancurlah
negeri ini. Pangeran Ara beserta pengawalnya sudah mejelajahi seluruh penjuru
negeri namun tak ada hasil, pusaka tak ditemukan juga. Sang raja cemas melihat putranya. Dia memerintah pengawal kerajaan untuk mengadakan sayembara.
Embun pagi masih berbaring di kelopak-kelopak mawar. Wangi bunga-bunga berpadu dengan bau rerumputan. Kincauan burung-burungpun terdengar dari jauh. Duk geruduk suara kaki kuda mendekat. Tiba-tiba keramaian di Desa Mawar pecah oleh suara terompet pengawal istana. Semua orang menghentikan aktifitas dan menghampiri sumber suara. Di atas kuda putih gagah perkasa dengan membawa pedang di pinggang dan tameng di tangannya, seorang pengawal membuka gulungan kertas yang dibawanya. "PENGUMUMAN. Pusaka milik Pangeran Ara hilang dalam perjalanan ke istana, diduga pusaka tersebut jatuh di desa ini. Pusaka tersebut berbentuk pedang kecil berkilau dengan dilapisi emas. Siapapun yang dapat menemukan, akan dikabulkan satu permintaannya oleh raja” suara pengawal istana lantang. Semua orang yang berkerumunan saling berbisik, bertanya-tanya keberadaan pusaka tersebut.
Rara perempuan tangguh dan berhati lembut terlihat antusias mengikuti sayembara ini.
“Kamu yakin ingin mengikuti sayembara ini?” tanya seorang pemuda mengejek kepada Rara.
“Tentu saja. Meskipun aku seorang perempuan” Jawab Rara tegas.
Keesokkan harinya, Rara mulai menyusuri Desa Mawar mencari keberadaan pusaka tersebut. Dia berjalan dari ujung timur sampai ujung barat Desa Mawar. Desa Mawar terletak di balik bukit. Udara masih sedi desa ini masih sejuk, kanan-kiri sepanjang desa dihiasi tanaman bunga mawar. Berbagai macam warna bunga mawar ada di desa ini, dari warna putih, merah, jingga,ungu dan lain-lain. Setelah kelelahan melakukan perjalanan jauh, Rara beristirahat di bawah pohon rindang. Pikiran tak karuan, hati mulai gelisah. Terkadang ia merasa putus asa tak dapat menemukan pusaka itu, tapi di dalam hati terdalam dia merasa yakin dapat menemukannya.
Sembari berdialog di dalam hati, Rara melihat seorang nenek tua berjalan dari arah barat menuju tempat peristirahatan Rara. Nenek itu sedang kerepotan menggendong rinjing dipundaknya, tangannya membawa tempat untuk bunga-bunga mawar yang dia petik. Tiba-tiba nenek berjalan sempoyongan seperti akan pinsan. Dengan sigap, Rara menghampiri dan menolong nenek. Rara memapah nenek ke bawah pohon rindang untuk beristirahat. Ia juga memberikan bekal bawaannya untuk di makan nenek. Setelah nenek cukup kuat untuk berjalan, Rara membantu membawakan barang bawaannya ke rumah nenek.
“Makasih ya cu, siapa namamu?”, tanya nenek.
“Rara nek. Maaf nek, Rara buru-buru mau melanjutkan perjalanan ” jawab Rara
“kemana cu?”, tanya nenek kaget
Rara menceritakan tujuannya untuk mengikuti sayembara. Setelah usai menjelaskan, Rara berpamitan kepada nenek. Nenek mengantar Rara ke depan pintu rumah. Rara berjalan pelan menjauh dari rumah nenek. Dua meter dari rumah nenek terdengar suara.
“Cu. Tunggu! Kembalilah sebentar“ , teriak nenek. Rara segera menolehkan kepalan dan kembali ke arah rumah nenek.
“Tunggulah sebentar. Ada sesuatu yang akan kuberikan kepadamu” ucap nenek
Nenek segera masuk ke dalam rumahnya dan mengambil sebuah kotak hitam kecil. Rara menyusulnya masuk ke dalam rumah.
“Ini cu, untukmu. Hanya ini yang bisa nenek berikan. Semoga bisa kau gunakan sebaik-baiknya”, ucap nenek sembari menyodorkan sebuah kotak hitam kecil.
“Apa ini nek?”, tanya Rara membuka kotak hitam tersebut, “ pedang pusaka milik Pangeran Ara?”
“Iya cu. Ambillah untukmu, kembalikan kepada Pangeran” nasehat nenek
Rara sebenarnya bingung mengapa dan bagaimana pusaka itu bisa ada di tangan sang nenek. Tetapi Rara tahu bukan saat yang tepat untuk bertanya, ia harus bergegas menuju istana sebelum terlambat.
“terimakasih nek” jawab Rara memeluk nenek. Kemudian Rara pamit melanjutkan perjalanan ke istana.
Sesampainya di istana, ia ditatap oleh pengawal kerajaan lekat-lekat. Ini pertama kalinya ia pergi ke istana, timbul sedikit rasa takut dalam hati Rara diamati dengan tatapan membunuh, tetapi ia tetap melangkahkan kaki dengan seluruh keberaniannya. Tangannya menggenggam pusaka terlalu erat sebagai pelampiasan atas rasa senang, takut, dan ragu.
“hai, anak muda ada keperluan apa kau kemari?” tanya pengawal kerajaan dengan nada keras.
“Saya ingin bertemu dengan raja, memberikan pusaka milik Pangeran Ara” jawab Rara
Pengawal kerajaan langsung mengalihkan pandangan pada pusaka di tangan Rara. Tanpa sadar, semakin erat pula Rara menggenggam pusakanya.
“Masuklah. Raja telah menunggu”
Setelah dipersilahkan masuk, akhirnya Rara dapat bertemu langsung dengan raja.
“Raja, Saya telah menemukan pusaka milik Pangeran Ara”, ucap Rara meyodorkan pusaka tersebut kepada raja sambil membungkuk dan terus menunduk.
“Sesuai janjiku, akan kukabulkan satu permintaanmu. Kau ingin apa?” tanya Raja
“Tidak raja. Saya hanya ingin menitipkan surat ini untuk Pangeran Ara” jawab Rara sambil memberikan surat tersebut.
Tak beberapa lama, surat tersebut sampai di tangan Pangeran Ara beserta pusaka. Kebetulan, hari ini merupakan peringatan kelahiran Pangeran Ara. Pangeran Ara merasa senang sekali karena pusakanya telah kembali. Namun Pangeran Ara terkejut melihat secarik kertas yang melekat di pedang pusaka, dibukanya lipatan kertas tersebut dengan berhati-hati pangeran membaca.
Embun pagi masih berbaring di kelopak-kelopak mawar. Wangi bunga-bunga berpadu dengan bau rerumputan. Kincauan burung-burungpun terdengar dari jauh. Duk geruduk suara kaki kuda mendekat. Tiba-tiba keramaian di Desa Mawar pecah oleh suara terompet pengawal istana. Semua orang menghentikan aktifitas dan menghampiri sumber suara. Di atas kuda putih gagah perkasa dengan membawa pedang di pinggang dan tameng di tangannya, seorang pengawal membuka gulungan kertas yang dibawanya. "PENGUMUMAN. Pusaka milik Pangeran Ara hilang dalam perjalanan ke istana, diduga pusaka tersebut jatuh di desa ini. Pusaka tersebut berbentuk pedang kecil berkilau dengan dilapisi emas. Siapapun yang dapat menemukan, akan dikabulkan satu permintaannya oleh raja” suara pengawal istana lantang. Semua orang yang berkerumunan saling berbisik, bertanya-tanya keberadaan pusaka tersebut.
Rara perempuan tangguh dan berhati lembut terlihat antusias mengikuti sayembara ini.
“Kamu yakin ingin mengikuti sayembara ini?” tanya seorang pemuda mengejek kepada Rara.
“Tentu saja. Meskipun aku seorang perempuan” Jawab Rara tegas.
Keesokkan harinya, Rara mulai menyusuri Desa Mawar mencari keberadaan pusaka tersebut. Dia berjalan dari ujung timur sampai ujung barat Desa Mawar. Desa Mawar terletak di balik bukit. Udara masih sedi desa ini masih sejuk, kanan-kiri sepanjang desa dihiasi tanaman bunga mawar. Berbagai macam warna bunga mawar ada di desa ini, dari warna putih, merah, jingga,ungu dan lain-lain. Setelah kelelahan melakukan perjalanan jauh, Rara beristirahat di bawah pohon rindang. Pikiran tak karuan, hati mulai gelisah. Terkadang ia merasa putus asa tak dapat menemukan pusaka itu, tapi di dalam hati terdalam dia merasa yakin dapat menemukannya.
Sembari berdialog di dalam hati, Rara melihat seorang nenek tua berjalan dari arah barat menuju tempat peristirahatan Rara. Nenek itu sedang kerepotan menggendong rinjing dipundaknya, tangannya membawa tempat untuk bunga-bunga mawar yang dia petik. Tiba-tiba nenek berjalan sempoyongan seperti akan pinsan. Dengan sigap, Rara menghampiri dan menolong nenek. Rara memapah nenek ke bawah pohon rindang untuk beristirahat. Ia juga memberikan bekal bawaannya untuk di makan nenek. Setelah nenek cukup kuat untuk berjalan, Rara membantu membawakan barang bawaannya ke rumah nenek.
“Makasih ya cu, siapa namamu?”, tanya nenek.
“Rara nek. Maaf nek, Rara buru-buru mau melanjutkan perjalanan ” jawab Rara
“kemana cu?”, tanya nenek kaget
Rara menceritakan tujuannya untuk mengikuti sayembara. Setelah usai menjelaskan, Rara berpamitan kepada nenek. Nenek mengantar Rara ke depan pintu rumah. Rara berjalan pelan menjauh dari rumah nenek. Dua meter dari rumah nenek terdengar suara.
“Cu. Tunggu! Kembalilah sebentar“ , teriak nenek. Rara segera menolehkan kepalan dan kembali ke arah rumah nenek.
“Tunggulah sebentar. Ada sesuatu yang akan kuberikan kepadamu” ucap nenek
Nenek segera masuk ke dalam rumahnya dan mengambil sebuah kotak hitam kecil. Rara menyusulnya masuk ke dalam rumah.
“Ini cu, untukmu. Hanya ini yang bisa nenek berikan. Semoga bisa kau gunakan sebaik-baiknya”, ucap nenek sembari menyodorkan sebuah kotak hitam kecil.
“Apa ini nek?”, tanya Rara membuka kotak hitam tersebut, “ pedang pusaka milik Pangeran Ara?”
“Iya cu. Ambillah untukmu, kembalikan kepada Pangeran” nasehat nenek
Rara sebenarnya bingung mengapa dan bagaimana pusaka itu bisa ada di tangan sang nenek. Tetapi Rara tahu bukan saat yang tepat untuk bertanya, ia harus bergegas menuju istana sebelum terlambat.
“terimakasih nek” jawab Rara memeluk nenek. Kemudian Rara pamit melanjutkan perjalanan ke istana.
Sesampainya di istana, ia ditatap oleh pengawal kerajaan lekat-lekat. Ini pertama kalinya ia pergi ke istana, timbul sedikit rasa takut dalam hati Rara diamati dengan tatapan membunuh, tetapi ia tetap melangkahkan kaki dengan seluruh keberaniannya. Tangannya menggenggam pusaka terlalu erat sebagai pelampiasan atas rasa senang, takut, dan ragu.
“hai, anak muda ada keperluan apa kau kemari?” tanya pengawal kerajaan dengan nada keras.
“Saya ingin bertemu dengan raja, memberikan pusaka milik Pangeran Ara” jawab Rara
Pengawal kerajaan langsung mengalihkan pandangan pada pusaka di tangan Rara. Tanpa sadar, semakin erat pula Rara menggenggam pusakanya.
“Masuklah. Raja telah menunggu”
Setelah dipersilahkan masuk, akhirnya Rara dapat bertemu langsung dengan raja.
“Raja, Saya telah menemukan pusaka milik Pangeran Ara”, ucap Rara meyodorkan pusaka tersebut kepada raja sambil membungkuk dan terus menunduk.
“Sesuai janjiku, akan kukabulkan satu permintaanmu. Kau ingin apa?” tanya Raja
“Tidak raja. Saya hanya ingin menitipkan surat ini untuk Pangeran Ara” jawab Rara sambil memberikan surat tersebut.
Tak beberapa lama, surat tersebut sampai di tangan Pangeran Ara beserta pusaka. Kebetulan, hari ini merupakan peringatan kelahiran Pangeran Ara. Pangeran Ara merasa senang sekali karena pusakanya telah kembali. Namun Pangeran Ara terkejut melihat secarik kertas yang melekat di pedang pusaka, dibukanya lipatan kertas tersebut dengan berhati-hati pangeran membaca.